Copyrights @ ZIDNIKLOPEDIA 2014. Designed By Templateism.com - Published By Gooyaabi Templates | Powered By Blogger

Bahasa dan Masa Kini

Oleh:

Reni Oktari
Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina
oktari.reni@gmail.com

Sari Riantika Damayanti
Mahasiswa Kajian Media, Ilmu Komunikasi Universitas Paramadina
sarisyahrial@gmail.com


Abstrak
Bahasa dapat dikatakan sebuah sistem simbol. Ia merupakan perwujudan budaya yang digunakan untuk saling bertukar informasi. Koentjaraningrat menyebutkan bahwa bahasa merupakan subordinat dari kebudayaan, dimana ia masuk sebagai salah satu unsur kebudayaan. Bahasa memiliki banyak ragam. Kemudian, ketika teknologi mulai membaur dengan bahasa maka varietasnya pun terpengaruh. Fenomena bahasa gaul menjadi fenomena gandrung sekarang ini. Ia menjadi salah satu bahasan yang terkait dengan hubungan kausal antara teknologi dan bahasa. Makalah ini akan menjelaskan deskripsi singkat mengenai fenomena bahasa  sebagai wujud kebudayaan dan situasi bahasa di masa kini melalui perspektif budaya, linguistik dan teknologi.


Bahasa sebagai Salah Satu Unsur Kebudayaan dalam Perspektif Koentjaraningrat
Menurut Koentjaraningrat kebudayaan memiliki tujuh unsur yang dapat ditemukan pada semua bangsa di dunia. Ketujuh unsur yang dapat kita sebut sebagai isi pokok dari tiap kebudayaan di dunia itu adalah: (1). Bahasa, (2). Sistem Pengetahuan, (3) Organisasi sosial, (4). Sistem Peralatan hidup, (5). Sistem mata pencaharian hidup, (6). Sistem religi, (7). Kesenian.[1]Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatan bahwa bahasa bagian dari kebudayaan, jadi hubungan antara bahasa dan kebudayaan merupakan hubungan yang subordinatif, di mana bahasa berada di bawah lingkup kebudayaan.

Bahasa adalah alat atau perwujudan budaya yang digunakan manusia untuk saling berkomunikasi atau berhubungan, baik lewat tulisan, lisan, ataupun gerakan (bahasa isyarat). Melalui bahasa, manusia dapat menyesuaikan diri dengan adat istiadat, tingkah laku, tata krama masyarakat, dan lain sebagainya. Bahasa memiliki beberapa fungsi yang dapat dibagi menjadi fungsi umum dan fungsi khusus. Fungsi bahasa secara umum adalah sebagai alat untuk berekspresi, berkomunikasi, dan alat untuk mengadakan integrasi dan adaptasi sosial. Sedangkan fungsi bahasa secara khusus adalah untuk mengadakan hubungan dalam pergaulan sehari-hari, mewujudkan seni (sastra), mempelajari naskah-naskah kuno, dan untuk mengeksploitasi ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menurut Koentjaraningrat, bahasa juga menjadi salah satu yang dapat menjelaskan kerangka etnografi selain lokasi, lingkungan, alam dan demografi, asal mula dan sejarah suku bangsa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan serta kesenian dan sistem religi yang pada akhirnya dapat menyusun sebuah karangan kebudayaan suatu suku bangsa. [2] Ia juga mengatakan bahwa ciri-ciri menonjol dari bahasa suku bangsanya dapat diuraikan pengarang etnografi dengan cara tepat menempatkannya dalam klasifikasi bahasa-bahasa sedunia pada rumpun, subrumpun, keluarga, dan subkeluarga bahasanya yang wajar dengan beberapa contoh fonetik, fonologi, sintaksis, dan semantik yang diambil dari bahan ucapan bahasa sehari-hari dan juga dilengkapi daftar kata-kata dasar dari bahasa suku bangsa yang terdiri dari sekitar 200 kata mengenai anggota badan (kepala, mata, hidung, mulut, tangan, kaki dan sebagainya), gejala-gejala dari badan-badan alam (angin, hujan, panas, dingin, matahari, bulan awan, langit dan sebagainya), warna, bilangan, kata kerja pokok (makan, tidur, jalan, duduk, berdiri dan sebagainya).

Bahasa dari suku bangsa, terutama pada suku bangsa yang besar, yang terdiri dari berjuta-juta penduduk selalu menunjukkan suatu variasi yang ditentukan oleh perbedaan daerah secara geografi maupun oleh lapisan serta lingkungan sosial dalam masyarakat suku bangsa tadi. Dalam bahasa Jawa misalnya, jelas ada perbedaan antara bahasa Jawa yang diucapkan oleh orang Jawa di Purwokerto, di daerah Tegal, di daerah Surakarta, atau di Surabaya. Perbedaan-perbedaan bahasa khusus seperti itu oleh para ahli bahasa disebut perbedaan logat atau dialek(dialect). Perbedaan bahasa Jawa juga mencolok sekali. Bahasa Jawa yang dipakai oleh orang di desa atau yang dipakai dalam lapisan pegawai (priyayi), atau di dalam istana (keraton),para kepala swapradja di Jawa Tengah, jelas berbeda. Perbedaan bahasa menurut lapisan sosial dalam masyarakat yang bersangkutan disebut tingkat sosial bahasa (social levels of speech). Walaupun tidak semua bahasa di dunia melibatkan pembedaan menurut tingkat sosial seperti bahasa Jawa namun di beberapa negara hal tersebut sering terjadi. [3]

Bahasa dalam Kajian Linguistik
Bahasa merupakan sistem simbol yang digunakan oleh komunikator untuk mengkonstruk dan mentransfer informasi (Findlay, 1998: 103). Sedangkan Ferdinand de Saussure (1916, dalam Chaer dan Agustina 2010: 2) menyebutkan bahwa bahasa adalah salah satu lembaga kemasyarakatan, yang sama dengan lembaga kemasyarakatan lain, seperti perkawinan, pewarisan harta peninggalan, dan sebagainya.
            Ferdinand de Saussure (1916, dalam Chaer dan Agustina 2010: 30-31) membedakan antara yang disebut langage, langue, parole.  Ketiga istilah yang berasal dari bahasa Perancis itu lazim dipadankan dengan satu istilah, yaitu bahasa. Padahal ketiganya mempunyai pengertian yang sangat berbeda, meskipun ketiganya memang sama-sama bersangkutan dengan bahasa.
            Dalam bahasa Perancis, istilah langage digunakan untuk menyebut bahasa sebagai sistem lambang bunyi yang digunakan manusia untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara verbal di antara sesamanya. Langage ini bersifat abstrak. Barangkali istilah langage dapat dipadankan dengan kata bahasa seperti terdapat dalam kalimat “Manusia mempunyai bahasa, binatang tidak”. Jadi, penggunaan istilah bahasa dalam kalimat tersebut, sebagai padanan kata langage, tidak mengacu pada salah satu bahasa tertentu, melainkan mengacu pada bahasa umumnya, sebagai alat komunikasi manusia. Binatang juga melakukan kegiatan komunikasi, tetapi alat yang digunakan bukan bahasa.
            Istilah kedua dari Saussure yakni languedimaksudkan sebagai sebuah sistem lambang bunyi yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu untuk berkomunikasi dan berinteraksi sesamanya. Jadi, langue mengacu pada sebuah sistem lambang bunyi tertentu yang digunakan oleh sekelompok anggota masyarakat tertentu, yang barangkali dapat dipadankan dengan kata bahasa dalam kalimat “Nita belajarbahasa Jepang, sedangkan Dika belajar bahasa Inggris”. Sama dengan langage yang bersifat abstrak, langue juga bersifat abstrak.
            Berbeda dengan langage dan language, maka parolebersifat konkret karena parole itu merupakan pelaksanaan darilangue dalam bentuk ujaran atau tuturan yang dilakukan oleh para anggota masyarakat di dalam berinteraksi atau berkomunikasi sesamanya. Parole di sini barangkali dapat dipadankan dengan kata bahasa dalam kalimat “Kalau beliau berbicara bahasanya penuh dengan kata daripada dan ken”. Jadi,parole itu tidak bersifat abstrak, melainkan nyata ada dan dapat diamati secara empiris. Perlu dicatat, yang menjadi objek studi linguistik adalah langue, sebagai suatu sistem bahasa tertentu, tetapi dilakukan melalui parole. Hal ini dikarenakan parole dapat diobservasi secara empiris.
            Secara formal, bahasa memiliki sistem kode yang terdiri atas tiga level yaitu (1) content atau semantic,merupakan konten atau makna kontekstual dalam bahasa; (2) formatau lexicogrammar, merupakan aturan/pola logis dan koheren kata menjadi kalimat dalam bahasa atau disebut juga sintaksis;(3) expression atau phonology merupakan pola pengkodean (suara atau simbol) yang membentuk bahasa (Dictionary of Media Studies, 2006: 173; Findlay, 1998: 103; Halliday, 1993: 187).
            Ahli antropologi dan ahli bahasa sudah sejak lama bertanya-tanya tentang kondisi evolusioner macam apa yang telah menstimulasi kemunculan bahasa manusia. Beraneka teori dihasilkan namun tidak ada satupun yang menghasilkan penjelasan definitif. Kapan dan dimana bahasa manusia pertama kali berkembang pun tidak dapat dipastikan (Findlay, 1998: 138-141). Asal usul bahasa pun masih simpang siur. Ada yang mengatakan bahwa bahasa berasal dari satu induk bahasa, ada pula yang mengatakan bahwa berasal dari beberapa bahasa.
            Menurut studi linguistik, anggapan bahwa bahasa berasal dari satu sumber disebut sebagai pendapat yang mengikuti teori monogenesis. Itu lawan dari teori poligenesis yang berpendapat bahwa ada lebih dari satu sumber bahasa induk. Entah apa sebabnya, banyak orang yang cenderung mempercayai teori monogenesis. Mungkin karena tingkat religiusitas yang tinggi dari nenek moyang terdahulu, terutama dalam mempercayai kisah Adam dan Hawa. Teori monogenesis mengarahkan banyak orang untuk membuat pembuktian dan penelitian tentang asal-usul bahasa dari satu sumber. Karena itulah, penelitian cenderung dipusatkan untuk mencari bukti persamaan ciri linguistik dari elemen milik bahasa yang berbeda-beda (Purwoko et al, 2004: 6).
Bahasa dan Ragam Bahasa
            Haugen (1974, dalam Purwoko et al: 2004) mengajukan hipotesis bahwa bahasa manusia akan berubah apabila para penutur secara geografis  terpisah dari kelompok induk. Sebaliknya, selama para penutur tinggal di suatu tempat, mereka cenderung mempertahankan bahasa yang sama. Dengan kata lain, Haugen mengungkapkan bahwa faktor perpindahan penduduk mempengaruhi kekacauan bahasa, bukan sebaliknya. Apabila ada sebuah komunitas linguistik terpecah belah dan para penutur berpencar ke berbagai daerah yang terpisah, mereka akan menciptakan dialek regional yang berbeda pula. Apabila jurang perbedaan semakin lebar maka lambat laun dialek mereka berubah menjadi bahasa yang berbeda dari bahasa induk. Perbedaan inilah yang disebut dengan ragam bahasa.
            Ragam bahasa adalah ketika terdapat perbedaan dalam berbahasa baik itu pelafalan, bentuk grammar, maupun makna (Findlay, 1998: 117). Terdapat dua jenis variasi atau ragam bahasa yaitu: dialek (ragam berdasar pengguna), dan register (ragam berdasarkan kegunaan). Konsep kerangka kerja yang berpandangan bahwa bahasa memiliki ragam merupakan konsep yang memandang bahasa sebagai institusi (Halliday, 1993: 183).
            Dialek merupakan ragam bahasa berdasarkan referensi si penutur: dialek kita berbicara merupakan fungsi dari siapa kita. Dialek adalah apa yang kita bicarakan (kebiasaan) menunjukkan siapa kita (sosio-region, asal usul), dan menunjukkan keberagaman struktur sosial atau pola hirarki sosial. Jadi, secara prinsip, dialek merupakan cara-cara yang berbeda untuk menyebutkan hal yang sama (Halliday, 1993: 35, 157, 183).
            Register merupakan ragam bahasa berdasarkan konteks sosial, yaitu apa yang sedang kita lakukan dan dalam situasi bagaimana saat kita berbicara. Register juga menunjukkan keberagaman proses sosial – misalnya pekerjaan (Halliday, 1993: 35, 157, 185).
            Para ahli menyebutkan bahwa ada lima faktor penting yang menyebabkan pembentukan sebuah dialek atau bahasabaru yang diturunkan dari sebuah bahasa sumber milik komunitas yang sama. Kelima faktor tersebut bersifat (1) regional, (2) sosial, (3) historis, (4) profesional, dan (5) kontak bahasa (Purwoko et al, 2004:10-18).
            Faktor regional membuat sebuah bahasa berubah karena para penutur mengucapkan varietas yang berbeda tergantung pada lokasi atau tempat mereka bermukim. Contohnya dapat diambil dari realitas linguistik bahasa Jawa, salah satunya bahasa yang dipakai orang di pegunungan Tengger berbeda dari bahasa Banyuwangi. Perbedaan ini bersifat kedaerahan. Karena itulah ragam bahasa ini disebut dialek regional.
            Faktor sosial menunjukkan kedudukan sosial penutur bahasa. Sebagai contoh, dalam bukunya The Religion of Java(1960, dalam Purwoko et al: 2004), Geertz membahas bahasa Jawa dalam satu bab “Linguistic Etiquette”. Dalam bab itu, Geertz berpendapat bahwa perbedaan penggunaan styleme, yang terdiri atas krama, madya, ngoko, berkaitan erat dengan kedudukan sosial penutur dan bahkan berhubungan erat pula dengan gaya hidup religiusitas para penutur, yang ia bagi menjadi priayi santri, dan abangan. Dalam tulisan lain ragam bahasa Jawa disebutkan ada ngoko, krama, krama inggil (Anderson, 1996: 279).
            Pendapat Geertz ini mirip dengan hasil penelitian Labov (1996, dalam Purwoko et al: 2004; Halliday: 1993) tentang penggunaan bahasa Inggris oleh penduduk di salah satu kota besar di Amerika Serikat, yaitu New York. Isu yang dikemukakan pun sama yaitu relevansi antara penggunaan bahasa dan kedudukan penutur. Disebutkan Labov bahwa dialek komunitas elit berbeda dari rakyat jelata.
            Ragam bahasa yang berkorelasi dengan kedudukan sosial para penutur disebut dialek sosial. Namun Geertz agak ragu dan menyebutnya styleme, hal ini karena Geertz adalah seorang cultural anthropologist. Dalam studi linguistik, terminologi itu memang asing dan tidak pernah dipakai orang, melainkan sering disebut fenomena dialek sosial (Purwoko et al, 2004:10-18). Dalam pengertian lain, dialek sosial merupakan dialek yang diasosiasikan dengan kelompok sosial dan sebagai simbol untuk kelompok sosial tertentu (Halliday, 1993: 159, 184).
            Faktor historis memperlihatkan hubungan antara bahasa dan kurun waktu kapan bahasa tersebut dipakai orang. Corak atau ragam perbedaan bahasa semacam ini disebut dialek temporal atau dialek historis. Dapat diambil contoh dari bahasa Jawa yang dibedakan menjadi bahasa Jawa Kuno, Jawa Tengahan, dan Jawa Modern.
            Faktor profesi seseorang juga dapat mempengaruhi ragam bahasa. Perbedaan ragam profesi terletak pada pilihan kata atau terminologi. Pada umumnya ragam bahasa ini dapat disebut pula menggunakan istilah register. Contohnya penggunaan istilah H2O oleh ahli kimia untuk menyebut air.
            Faktor kontak bahasa juga sangat mempengaruhi keterbentukan komunitas linguistik baru. Apabila ada dua bahasa atau lebih hidup berdampingan di satu tempat maka akan terjadi semacam campuran penggunaan setiap bahasa itu. Menurut pendapat Bloomfield (1984, dalam Purwoko et al: 2004), biasanya bahasa yang lemah atau terdominasi cenderung lebih banyak terpengaruh oleh bahasa yang lebih kuat. Kemudian situasi kebahasaan akan menghasilkan dua atau lebih ragam bahasa yang secara sosial dianggap “baik” dan “kurang baik”. Keadaan semacam ini disebut oleh Ferguson sebagai diglosia (1959, dalam Purwoko et al: 2004; Findlay, 1998). Sebaliknya apabila dua bahasa yang hidup bersama dalam suatu komunitas mempunyai otoritas dan kekuatan yang seimbang disebut bilingual atau multilingual (jika lebih dari dua bahasa).
Ragam bahasa diregulasi oleh sosial (determinisme sosial) dan juga meregulasi sosial (determinisme linguistik). Diregulasi oleh sosial maksudnya adalah bahwa ragam bahasa dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial misalnya konteks sosial dan struktur sosial. Sedangkan sebaliknya, menurut determinisme linguistik, ragam bahasa mempengaruhi sosial, misalnya mempengaruhi struktur sosial.
Anti-bahasa dan Anti-masyarakat
            Sistem kerja hubungan antara bahasa dan masyarakat juga berlaku bagi anti-bahasa dan anti-masyarakat. Anti-bahasa bukan hanya paralel terhadap anti-masyarakat, tapi juga dibentuk oleh anti-masyarakat. Anti-masyarakat  merupakan suatu masyarakat yang muncul atas kesadaran bermasyarakat sebagai bentuk alternatif dari masyarakat lazim ataumainstream (Halliday, 1993: 164). Dengan begitu, anti-bahasa merupakan bahasa yang muncul dalam dan oleh anti-masyarakat sebagai bahasa alternatif dari bahasa lazim atau mainstream.
            Secara prinsip, anti-bahasa memiliki grammar yang sama dengan bahasa, namun berbeda dalam perbendaharaan kata; perbedaan dalam perbendaharaan kata ini tidak secara keseluruhan melainkan hanya pada hal-hal tertentu yang merupakan pusat aktivitas (karakteristik) subkultur. Bentuk paling sederhana dari anti-bahasa yaitu kata-kata baru untuk menggantikan kata-kata lama. Contoh dari anti-bahasa yaitu bahasa kaum gay dan banci yang paralel dengan kehadiran mereka sebagai anti-masyarakat.
            Anti-bahasa seringkali dibuat untuk melakukan komunikasi tertutup demi menjaga kerahasiaan. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa anti-bahasa awalnya dibuat untuk kontes atau pameran dengan tujuan menunjukkan bahwa kami adalah berbeda.
            Kehadiran anti-bahasa dan anti-masyarakat ini dapat dijelaskan menggunakan istilah second life (kehidupan kedua) oleh Podgŏrecki. Second life merupakan hasil dari kondisi yang terisolasi, atau hasil dari kebutuhan untuk menertibkan tingkah laku seksual serta menolaknya sebagai sesuatu yang tidak pantas. Ia menyebutkan second life muncul dari kebutuhan untuk menjaga solidaritas di bawah tekanan, dan itu diraih melalui akumulasi hukuman dan hadiah.
            Menurut Podgŏrecki (dalam Halliday, 1993: 168),second life adalah rekonstruksi dari individu dan masyarakat yang memiliki struktur sosial alternatif, bersama sistem nilainya,  sanksi, hadiah dan hukuman. Second life kemudian mejadi sumber identitas alternatif bagi anggota-anggotanya, melalui pola-pola penerimaan dan gratifikasinya. Dengan kata lain, second life adalah realitas alternatif, dan realitas tersebut adalah realitas yang counter-realitas.
Bahasa dan Implikasi Teknologi
Pada hakikatnya teknologi adalah sesuatu yang konkret dan memiliki fungsi yang jelas sebab ia terbentuk dari sebuah kerangka pengetahuan yang jelas. Sedangkan bahasa adalah alat kita berkomunikasi. Terkait hal ini, Ia juga dapat dikatakan sebagai sebuah teknologi sebab bahasa merupakan produk budaya yang konkret dan mempunyai fungsi. Ia juga memberikan solusi bagi masyarakat untuk menyelesaikan permasalahan sosial yang ada.

Teknologi dan bahasa memiliki hubungan kausal yang sangat erat dimana teknologi dapat mempengaruhi varietas bahasa, begitu pula sebaliknya dalam teknologi terdapat bahasa-bahasa tersendiri untuk disandikan. Beberapa faktor yang mempengaruhi keanekaragaman bahasa antara lain: (1). Medium teknologi yang digunakan untuk komunikasi seperti telepon, radio, televisi, computer dsb, (2). Fungsi sosial yang dimunculkan media, (3). Perubahan historical dan kontemporer.

Setiap teknologi berpotensi untuk memobilisasi bentuk-bentuk bahasa, tak hanya teknologi komunikasi, teknologi transportasi pun bisa walau tampak tidak terlalu jelas, contohnya mereka dapat menggiring masyarakat untuk bermobilisasi sehingga kemungkinan bahwa suatu bentuk bahasa pada varietas regional dapat berpindah di regional lain.

Teknologi telah menjadi mediator untuk memberikan pengalaman mengenai apa yang kita lihat dengan pola-pola pemahaman yang kita lakukan terhadapnya. Salah satu masalah dalam menciptakan jati diri dalam masyarakat kontemporer adalah hiperrealitas dunia yang muncul pada tempat dimana bahasa dan simbol dieksperiensasikan. Beberapa cara untuk mengeksperiensasikan bahasa dan simbol-simbol adalah dengan menggunakan teknologi dari membaca, menulis dan berpikir. Kata-kata harus didengarkan, buku harus dibaca dan gagasan harus disebarkan.

Dalam tradisi oral sebagian besar bahasa akan diartikulasikan dengan bahasa lokal untuk disebarkan melalui kehidupan sosial dan mengekspresikannya pada pengalaman individu sebab orang-orang yang berada di luar keanggotaan suatu komunitas akan memiliki hambatan untuk memahami konteks komunikasi. Sehingga melalui bahasa asli (vernacular language)ini tidak hanya memberi penekanan terhadap bagaimana cara mempelajarinya tapi bagaimana jenis hubungan yang berkembang dalam bahasa vernakular ini.

Sebenarnya apa yang terartikulasikan lewat bahasa ini adalah gambaran dari apa yang ada dalam pikiran kita dan ini semua sudah memiliki plot-plot (template) khusus. Namun, perpanjangan tangan oleh media menyebabkan sebuah konstruksi-konstruksi sosial dalam hal bahasa dimana dalam media bahasa-bahasa tersebut telah termaknai olehnya sehingga masyarakat hanya berfungsi secara pasif dalam memaknai teks-teks tertentu.

Tulisan (writing) diperkenalkan secara perlahan-lahan dalam kehidupan sosial dan sistem pendidikan sehingga hal ini menjadikannya eksklusif. Sesungguhnya, pertumbuhan suatu budaya dapat terjadi karena adanya tantangan kebutuhan yang harus dipenuhi di dalam kehidupan. Kebutuhan akan tulisan bagi masyarakat tradisional (primitif), dirasakan setelah komunikasi lisan tidak lagi memadai di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Dengan itu timbul lah ide-ide sederhana untuk melambangkan setiap apa yang bisa mereka ucapkan. Tuntutan ini pada awalnya melahirkan bentuk-bentuk lambang sederhana dan rumit, yaitu dengan cara menggambarkan setiap benda yang diucapkan.

Menulis adalah salah satu bentuk budaya yang tercipta melalui proses-proses yang disebutkan. Penemuan lambang-lambang oral (huruf) yang bentuk akhirnya berupa tulisan adalah suatu prestasi intelektual yang dicapai manusia dalam peradaban masyarakat klasik. Peralihan sistem komunikasi manusia dari tradisi oral ke tradisi menulis, sangat mempengaruhi percepatan perkembangan budaya dan perluasan informasi antar masyarakat dan antar generasi secara lebih otentik dan efektif. Akibat dari semua itu, tentunya -secara tidak langsung-, akan merubah tatanan budaya-budaya lainnya ke bentuk yang lebih baik dari masa-masa sebelumnya.

Dengan demikian penemuan budaya tulisan dalam sistem budaya suatu masyarakat tidak hanya akan menawarkan peningkatan dalam lapangan komunikasi saja, akan tetapi lebih jauh akan mempengaruhi aspek-aspek budaya manusia itu secara keseluruhan. Hal-hal yang kita sebutkan terbukti dari beberapa kerajaan besar pada zaman purba -seperti Mesir, Sumeria, Babylonia, Niniveh, China dan lain-lain- yang telah memperoleh kemajuan yang pesat di bidang peradaban dalam masa 10.000 tahun semenjak mereka menemukan tulisan. Kemajuan tersebut ternyata lebih besar dari apa yang dicapai selama Zaman Batu yang berlangsung lebih kurang 2 juta tahun (Santoso,tt:19-20).[4] Namun, meskipun menulis dan membaca kontemporer sifatnya personal, tidak bersuara (silent task), dan menjalankan derajat privasi perkembangannya cenderung lambat.



[1] Lih. Koentjaraningrat, 2009, Pengantar Ilmu Antropologihlm. 165
[2] Ibid., hlm. 257
[3] Ibid., hlm 261-263
[4] Disarikan dari blog Irhash A. Shamad: http://irhashshamad.blogspot.com/

0 komentar:

Posting Komentar